Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 20 Juni 2013

Ikan Nilem yang telah menjadi Ikan primadona Tasikmalaya

 


BUDIDAYA yang dilakukan secara sampingan, menjadikan ikan nilem sebagai sumber kehidupan ribuan warga di Kabupaten Tasikmalaya. 
Jika digarap serius, ikan yang mempunyai nama latin osteochilus hasel-ti itu bisa menjadi ikon baru Tasik-malaya setelah gurame.
Bagi keluarga (Alm.) Ahmad di Kampung Cikidang, Desa/Keca-matan Padakembang, Kabupaten Tasikmalaya, nilem menjadi salah satu penyelamat kehidupan setelah Gunung Galunggung meletus. Pada 1982 itu seluruh harta bendanya habis disapu lahar. Kolam tempat budidaya ikan berjuluk “Si Cinging” yang menjadi sumber kehidupan keluarganya, ikut rusak parah.
Akibat letusan dahsyat gunung tersebut, ikan-ikan di kolam seluas 1 hektare lebih itu tak bersisa. 
Semua-nya hancur dan mati. Butuh waktu sekitar delapan bulan pascaletusan agar Ahmad bisa kembali memba-ngun kehidupan dengan normal. Masih beruntung, beberapa kilogram ikan nilem yang tersisa dibawa mengungsi ke Ciawang, Kecamatan Leuwisari, berhasil dibudidayakan. 

Tiga tahun pascaletusan, kolam yang awalnya tertutup lahar tersebut bisa dimanfaatkan kembali berkat budidaya ikan nilem. “Nilem, nilem, nilemlah yang telah menyelamatkan kehidupan keluarga kami,” kata Ny. Enok (65), putri (Alm.) Ahmad saat ditemui “KP”, Rabu (20/3).

Kini nilem menjadi ikan “wajib” bagi para petani ikan di Kabupaten Tasikmalaya, bahkan di wilayah Priangan timur seperti Kabupaten Ciamis. 
Setiap kolam pasti ada ikan nilemnya sehingga kerap disebut sebagai ikan “tetenon” atau “cengcelengan” (celengan).           
Dengan cara budidaya “lurjeun” (ditanam lalu biarkan begitu saja) petani sudah bisa merasakan dampak yang besar dari nilem. 

Seperti dirasakan Wahyu, nilem sudah menjadi bagian dari kehidupan yang tidak bisa ditinggalkan. 
Meski saat ini Wahyu bersama 15 anggota kelompok lainnya fokus pada budidaya ikan nila dan gurame, namun ikan nilem tetap harus ada di kolam. 
Mereka menganggap nilem sebagai ikan sampingan. “Wa-lau tidak harus dibudidayakan secara intensif, nilem sudah bisa menghasilkan. Cadu rugi melak nilem mah,” kata Wahyu, serius.

Kepala Seksi Sarana dan Prasa-rana Unit Pengelola Teknis Dinas Balai Benih Ikan di Kampung Ceumceum Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya, Nandang Muslim, mengakui kebutuhan ma-syarakat terhadap ikan nilem di wilayah Priangan timur tiap tahunnya lebih dari 5 juta ekor. 
Jumlah tersebut masih sangat kurang. “Baru bisa terpenuhi 2 juta ekor, termasuk dari indukan yang ada di balai sekitar 1 ton,” kata-nya.

Dengan kekurangan tersebut, tentu saja potensi nilem masih terbuka lebar.      Padahal masyarakat be-lum ada yang membudidayakan nilem secara intensif alias masih sebatas sampingan saja. 
Pasarnya je-las, bukan hanya di tingkat nasional, di tataran lokal pun masih terbuka lebar. 
Dari mulai larva (bibit yang berusia lima hari), aruy (30 hari), huripan (50 hari), sangkal atau koral (60 hari) sampai usia konsumsi, laku dijual.

Di Tasikmalaya sendiri, nilem sudah lekat dengan sebutan “lauk pipiti” atau “lauk besek”. Ukurannya yang tidak terlalu besar dan bentuk-nya yang bagus, sangat cocok untuk mengisi lauk dalam pipiti atau be-sek ketika masyarakat di daerah menggelar hajatan. 

Omset miliaran
Data di Dinas Peternakan Per-ikanan dan Kelautan Kabupaten Tasikmalaya tahun 2011, produksi ikan nilem per tahun mencapai 8.932,38 ton.
Jika harga sekarang sekitar Rp 13.000/kilogram, maka omset dari ikan itu sekitar Rp 2,45 miliar lebih. Jumlah petani yang terlibat sebanyak 63.515 orang, tersebar di semua wilayah kabupaten ini. 

Daerah potensi terbesar berada di wilayah Kecamatan Leuwisari de-ngan jumlah produksi sebesar 1.041,73 ton, Kecama­tan Padakem-bang (1369,62 ton), dan Keca­m­atan Sukaratu (1246,51 ton). 
Potensi air yang berlimpah dari kawasan Gunung Galunggung menjadikan daerah-daerah tersebut cocok untuk pengembangan nilem. 
Sayangnya, kondisi tersebut kini mengalami kendala. Desa Mekarja-ya, Kecamatan Padakembang, sebagai sentra terbesar nilem, paling terkena dampak penambangan pasir Gunung Galunggung. 
Wilayah lainnya yakni Desa Kubangeceng, Ran-capaku, Padakembang, Sukaratu, Linggajati, Sinagar, dan Cikunir. Po-sisi desa tersebut berada di bawah irigasi Cikunir yang menjadi lokasi penambangan pasir Galunggung.

Para petani kerap merugi, produktivitas ikan menurun hingga 60 persen karena dampak limbah. Padahal nilem lebih betah hidup di air yang bening dan bersih. “Irigasi khusus untuk perikanan dan perta-nian harus dijadikan solusi dalam mengatasi kendala yang terjadi saat ini,” kata salah seorang petani ikan Desa Mekarjaya, Burhan Mulyadi.

Memang, masyarakat sudah sejak lama mengusulkan agar pemerintah daerah membangun irigasi khusus tersebut demi kelangsungan hidup petani, namun tak kunjung tereali-sasi. “Kami juga sudah mengusulkan keinginan masyarakat itu kepada pemkab dan provinsi, tapi belum ada tanggapan,” kata Kepala Seksi Budidaya Ikan Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Tasikmalaya, Asep Thurjaman.

Ya, bila Pemkab Tasikmalaya ingin serius mengambangkan ikan nilem, sudah sepantasnya masyarakat pembudidaya ikan dan petani di sekitar kawasan Gunung Galunggung mendapat pasokan air yang bersih. 

Proses penambangan yang sulit ditutup karena kebutuhan ekonomi bisa dikelola dengan baik, dan tak malah mematikan sektor usaha lain terutama sektor perikanan. 
Tentunya, kita tak ingin nilem yang telah menjadi bagian ekosistem dan sumber kehidupan masyarakat Tasikmalaya itu malah hancur, dan pelan-pelan tilem (tenggelam lalu menghilang)

Kabupaten Nilem  dan Kisah “Gerenyem Nilem”

IKAN nilem memang bukan ikan khas Tasikmalaya, namun potensi terbesarnya di Indonesia berada di Tasikmalaya. Kabupaten ini dikenal sebagai pemasok nilem nasional di Jawa Barat.

Wajar jika ikan yang di daerah lain dikenal dengan sebutan lahat, regis monto, palong, palouw assang, atau penopo itu lebih dikenal di Tasikmalaya. Bahkan bisa menjadi identitas masyarakat Tasikmalaya dan Gunung Galunggung.
Saking lekatnya dengan masyarakat Priangan timur khusunya Tasikmalaya, warga mengenal dekat istilah “gerenyem nilem”, salah satu cara ikan dalam memakan makanan. “Istilah ini hanya ada di wilayah Priangan timur, di daerah lain saya belum mendengarnya,” kata Kepala Seksi Budidaya di Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tasikmalaya, Asep Thardiaman.

“Gerenyem nilem” juga mencerminkan sebuah ketekunan dan tidak serakah.     Identitas itu selaras dengan cara hidup masyarakat Tasikmalaya yang tekun dan pekerja keras. Tu-kang kredit salah satunya. “Buktinya jelas, meski saat ini nilem belum dibudidayakan secara intensif, tetapi sudah menjadi sumber kehidupan masyarakat Tasikmalaya. Produksi-nya terus meningkat walau hanya sebagai sampingan,” ujar Asep.

Kondisi Gunung Galunggung yang berbeda dengan gunung-gunung aktif lainya di Indonesia, juga seperti “gerenyem nilem”. Lihat saja, erupsi Galunggung cenderung dicicil, hampir satu tahun tidak langsung meledak begitu saja. “Letusan Galunggung itu dicicil atau ‘digere-nyem’ seperti nilem. 
Memang biasa seperti itu,” kata Asep lagi. 
Dengan kondisi tersebut, wajarlah Penyuluh Perikanan Lapangan, Ke-camatan Padakembang, Wiwik Hik-mawati, memiliki keinginan agar De-sa Mekarjaya di Padakembang menjadi desa ikan di Kabupaten Tasik-malaya. 

Selama ini desa yang berada di kaki Gunung Galunggung itu me-rupakan pemasok ikan nilem terbesar di Padakembang. 

Dalam sebulan lebih dari 8 ton nilem berbagai ukuran keluar dari Mekarjaya, bahkan Mekarjaya su-dah memiliki kelompok pembenih-an, kelompok budidaya, dan kelompok pemasaran. “Mekarjaya harus menjadi desa nilem seperti di daerah lain. 

Nilem di desa ini sudah menjadi bagian kehidupan warga,” kata Wiwik, Rabu (20/3).
Karena potensi Kabupaten Tasik-malaya yang besar dalam hal nilem, diharapkan kabupaten ini pun menjadi kabupaten nilem. “Ya, bisa saja. Nilem memiliki prospek bagus,” tu-tur Asep.

Mereka yang tak Bisa Lepas dari Nilem
ASEP Dudung, pembudidaya ikan di Kampung Rancailat, Desa Mekarjaya Kecamatan Padakembang Kabupaten Tasikmalaya, merasakan betul betapa besar pengaruh nilem terhadap kehidupan keluarganya.

Pria yang menjabat ketua Kelompok Pembudi-daya Ikan “Karya Muda” di kampungnya itu berhasil membeli mobil pick up de-ngan cara tunai, sebidang tanah, hingga kolam. Itu setelah 13 tahun bergulat dengan nilem.

Ia pun mampu menghidupi sembilan orang tenaga kerja dengan upah rata-rata per bulan sebesar Rp 1.500.000, lebih besar di-banding Upah Minimum Kabupaten Tasikmalaya sebesar Rp 1.050.000.

Setiap bulannya, tidak kurang 4 ton ikan nilem berbagai ukuran berhasil dijual oleh Asep dengan omset sekitar Rp 100 juta. 
Bukan hanya pasar lokal yang digarap, Asep juga memasok ke Kabupaten Cianjur, Bandung, hingga Purwokerto di Jawa Te-ngah. “Kebutuhan nilem itu tak pernah kosong, kami sering keteteran dalam me-menuhi permintaan konsumen,” kata Asep.

Harga ikan yang habitat aslinya berada di perairan umum itu cenderung stabil. Bahkan sejak empat bulan lalu, terus naik. Di tingkat petani, untuk benih atau huripan mencapai Rp 32. 000, dan untuk konsumsi Rp 17.000 per kilogram.

Apa yang disampaikan Asep dirasakan pula oleh Burhan Mulyadi (33). Penyuluh Perikanan Swadaya yang juga aktivis lingkungan itu tak bisa meninggalkan budidaya nilem. 
Meski kolam yang dikelola bersama Kelompok Benih “Mekar Saluyu” di Desa Mekarjaya kerap terkena limbah penambangan pasir Gunung Galunggung, tidak menjadi halangan untuk tetap membudidaya ikan.

“Hasil produksi kerap menurun hingga 40 persen, bahkan kadang-kadang ikan mati karena limbah. Namun kami berupaya bertahan,” kata Burhan.

Lokasi kolam yang biasa dimanfaatkan Burhan untuk budidaya nilem, berada persis di bawah aliran Sungai Cikunir yang menjadi lokasi tambang pasir Galunggung. 
Meski demi-kian omsetnya masih tergolong besar, dalam sebulan tak kurang dari 4 ton untuk jenis ikan nilem. Pasarnya tak jauh beda dengan Asep. 

“Tetenong”
Ya, nilem telah banyak mengubah kehidupan masyarakat di kawasan Gunung Galunggung. Daya tariknya luar biasa dalam memberikan kehidupan. 
Ujang Suryana (40) warga Kampung Rancailat, Desa Mekarjaya, Kecamat-an Padakembang, merasakan betul hal itu. “Nilem te-lah menyelamatkan keluarga saya, saat ini kami tidak bisa lepas dari nilem,” kata ayah tiga anak tersebut.

Saat ini, penghasilan Ujang tak kurang dari Rp 1,5 juta per bulan. Jumlah tersebut terbilang bersih.
Ujang juga memiliki kolam yang biasa dipanen dalam waktu lima bulan sebagai “tetenong” atau tabungan. “Ya, bagi masyarakat di sini nilem sudah menjadi sumber kehidupan,” ujarnya. 




Ditulis Oleh : Unknown // 21.14
Kategori:

2 komentar:

  1. Thanks infonyaaa yaa. Jangan lupa kunjungi website kami http://bit.ly/2wppttV

    BalasHapus
  2. Harga koral berapa perkilo nya..?

    BalasHapus

 
Toko Buku Online Terlengkap
g-website

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service